Friday, May 20, 2005

Outsourcing dan Problem Keadilan

Kian menjadi kecenderungan. Itulah sikap perusahaan dalam menggunakan pekerja/buruh outsourcing, sebuah model rekrutmen melalui perusahaan jasa penyedia tenaga kerja/buruh.
Memang belum diketahui persis seberapa besar tenaga yang terserap melalui model outsourcing. Tapi, hampir mudah dijumpai tenaga-tenaga outsourcing di berbagai perusahaan besar, berstatus swasta nasional atau perusahaan-perusahaan milik negara (BUMN), bahkan di instansi-instansi pemeintahan. Mereka bertebaran, di level rendah seperti cleaning service sampai ke level menengah (manajerial) bahkan
pimpinan puncak (direksi), meski dalam status berbeda.

Tentu, banyak pertimbangan menarik yang mendorong perusahaan penyerap pekerja/buruhmenerapkan model outsourcing. Di antaranya, pertama, perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh secara outsourcing tidak harus mengalokasikan waktu dan tenaganya secara khusus untuk mengambil tenaga/buruh yang diperlukan, bahkan dapat diproses dalam waktu relatif singkat. Di sana, terlihat efisiensi (waktu dan tenaga) untuk memperoleh tenaga/buruh yang diharapkan. Efisiensinya dapat dirancang untuk proses manajemen lainnya yang lebih konstruktif.

Kedua, perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh secara outsourcing terlepas dari kewajiban ideal untuk program pengembangan karir mereka, terlepas juga dari kewajiban memberikan jaminan sosial, terlepas dari beban tunjangan tahunan (tunjangan hari raya atau akhir tahun). Semua ini memberikan makna positif dalam kontek pengurangan biaya operasional perusahaan. Dan manakala muncul konflik tentang penyesuaian upah/gaji bahkan persoalan lainnya bagi kepentingan pekerja/buruh, pihak perusahaan pengguna pekerja/buruh outsourcing dapat mengalihkan persoalannya ke perusahaan penyedia tenaga kerja/buruh.

Ketiga, perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh outsourcing dapat leluasa memutus hubungan kerja (PHK) secara sepihak tanpa dibayang-bayangi tuntutan secara hukum. Faktor ketiga ini cukup krusial.

Muncul renungan, mengapa perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh terdorong melakukannya? Di luar sejumlah kemanfaatan tersebut bagi kepentingan perusahaan pengguna tenaga outsourcing, UU Ketenagakerjaan yang konon telah disempurnakan (UU No. 13/2003) pun masih belum jelas masalah tenaga outsourcing. Jika kita telaah pasal demi pasal dalam UU Ketenagakerjaan itu, kita dapat menggarisbawahi bahwa hal-hal yang diatur hanyalah seputar hak dan kewajiban antara perusahaan penyedia tenaga kerja dengan perusahaan pengguna jasanya (Pasal 64, 65 dan Pasal 66). Sementara,
landasan hukum outsourcing hanyalah Pasal 1601 b Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang intinya mengatur perjanjian pekerjaan yang bersifat borongan.

Jika pasal ini yang dijadikan landasan rekrutmen tenaga secara outsourcing, maka jenis pekerjaannya haruslah terkategori khusus yang dapat diselesaikan dalam waktu tertentu. Berarti, tidak berlaku untuk seluruh jenis pekerjaan termasuk pekerjaan rutin yang tak akan pernah henti selama perusahaan masih aktif.

Jenis pekerjaan yang terkategori tertentu tersebut tampaknya tidak dilihat oleh para perusahaan pengguna tenaga kerja/buruh, begitu juga perusahaan penyedia. Salah satu indikasi yang menonjol adalah perusahaan di manapun cenderung menggunakan tenaga outsourcing untuk seluruh jenis pekerjaan. Praktik penggunaan tenaga outsourcing ini sebenarnya –dari sisi UU Ketenagakerjaan– terkategori melanggar.
Namun, ketidakjelasannya UU yang ada membuat perusahaan pengguna tenaga secara outsourcing berani menabraknya. Kiranya, sejumlah titik lemah UU Ketenagakerjaan ini perlu dibenahi lebih lanjut.

Ada beberapa urgensi pembenahan (penyempurnaan) dari UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, terutama dalam hal outsourcing. Pertama, para tenaga kerja/buruh yang direkrut secara outsourcing senantiasa dibayang-bayangi ketidaknyamanan kerja. Hal ini karena kemungkinan perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing melakukan PHK, meski tanpa alasan yang jelas.

Ketidaknyamanan kian terasa sejalan dengan tindakan perusahaan semena-menanya tidak berkonsekuensi hukum yang pasti, yang tentu terhindar dari sejumlah akibat (kerugian materiil). Di sisi lain, para tenaga outsourcing merasa sangat tidak nyaman selama bekerja sejalan dengan fitrah manusia yang tak lepas dari kealpaan, di mana kekhilafan dapat dijadikan senjata untuk mem-PHK kapanpun perusahaan mau.

Kedua, pekerja/buruh sama sekali tak berdaya menghadapi sikap paksa perusahaan penggguna tenaga outsourcing itu. Di sini terlihat jelas gambaran eksploitasi yang tidak menghargai hak-hak tenaga kerja yang dipakainya. Sementara, manakala para tenaga kerja outsourcing itu kecewa, mereka tak dapat melakukan reaksi perlawanan secara langsung kepada pihak perusahaan yang merekrutnya secara outsourcing itu.

Sebab, alamat kekecewaannya haruslah ditujukan kepada perusahaan jasa penyedia tenaga kerja, bukan perusahaan penggunanya. Sementara, perusahaan jasa penyedia tenaga kerja sudah mengantongi senjata pamungkas: silakan mundur jika tenaga kerja outsourcing tidak puas dengan apa yang dihadapinya, karena masih banyak lainnya yang antri. Memang, keterbatasan lapangan kerja membuat pencari kerja pasrah terhadap sistem apapun yang akan diterapkan, termasuk model outsourcing.

Dan ketika kekecewaannya diekspresikan kepada perusahaan jasa penyedia tenaga kerja, para tenaga kerja/buruh ini pun sulit mendapatkan sesuatu yang diharapkan. Dalam kaitan upah/gaji atau hak-hak lainnya, para tenaga kerja hasil outsourcing tetap sulit mendapatkannya. Faktornya, jika berharap perbaikan pada perusahaan penyedia jasa tenaga kerja hal ini sungguh tidak mungkin, karena ia dari awal memang mengambil sebagian upah/gajinya, sekalipun pemotongannya tidak didasarkan perjanjian/kesepakatan.

Pemotongan sekian persen ini sebagai konsekuensi penyalurannya (mendapatkan pekerjaan). Sementara, jika mendesak kepada perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing, hal ini lebih tidak memungkinkan lagi, karena hubungan kerjanya memang bukan dengan perusahaan tempat mereka bekerja. Organisasi sarikat pekerja pun sulit memperjuangkannya, karena status kepegawaiannya memang tidak berinduk pada perusahaan pengguna tenaga outsourcing itu.

Pendek kata, tenaga kerja outsourcing sangat menguntungkan
pihak perusahaan. Sebaliknya, tenaga kerja outsorcing diperlakukan tidak adil, dalam kaitan pendapatan atau hal-hal nonekonomi. Ia atau mereka memang mendapatkan pekerjaan, tapi sejumlah hak-haknya dipangkas secara sepihak (tanpa persetujuan). Sebuah renungan, apakah perilaku ketidakadilan ini harus dipertahankan? Tentu tidak.

Ini memaksa payung hukum outsourcing yang lebih tegas dan jelas. Konsekuensinya, hak-haknya, termasuk sikap hukumnya pun harus jelas, sehingga dapat disikapi dengan hukum yang tegas pula. Setidaknya, payung hukum yang jelas dalam bentuk UU Ketenagakerjaan yang disempurnakan atau bentuk Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat dijadikan pijakan untuk bergerak bagi para tenaga outsourcing dan atau para tim penasihat hukumnya.

Yang perku kita catat, ketiadaan payung hukum yang jelas akan selalu mengantarkan praktik eksploitase perusahaan terhadap tenaga-tenaga kerja outsourcing. Di satu sisi memang ada penyerapan sejumlah tenaga kerja yang berarti mengurangi jumlah pengangguran. Tapi, penyerapannya tidak berkorelasi positif terhadap proses peningkatan kesejahteraan sejumlah tenaga kerja outsourcing, terutama yang berkelas bawah. Setidaknya, mereka setelah direkrut secara outsourcing tidak merasakan kenyamanan selama bekerja. Lalu, di mana makna konstruktif dari mendapat pekerjaan?

Satu hal yang juga perlu digaris-bawahi, tindakan ketidakadilan itu menciptakan bom waktu yang pada saatnya meledak. Dan mogok kerja merupakan reaksi akumulatif yang tak dapat dihindari. Dari sisi ini, terlihat kegagalan mendasar bagi perusahaan pengguna tenaga kerja outsourcing yang merancangnya sebagai upaya menekan pengeluaran. Sebab, mogok kerja merupakan kerugian besar, baik dari sisi pendapatan ataupun citra.

Barangkali, perusahaan pengguna tenaga kerja secara outsourcing sudah memikirkan bagaimana menerapkan strategi efektif dari letupan sosial akibat perlakuan ketidakadilan. Dalam hal ini format kebijakan yang dikembangkan adalah mempercepat penggantian tenaga kerja lain: paling lama ikatan kerjanya tak lebih dari setahun.

Strategi ini memang dapat diharapkan efektivitasnya. Namun, format kebijakan ini memperlihatkan sikap perusahaan yang tidak peduli terhadap persoalan kualitas sumberdaya. Dalam kaitan ini kita dapat memahami sikap egoistik perusahaan yang tidak peduli itu. Tapi, pemerintah punya kewajiban moral untuk mendorong perusahaan manapun agar memproses peningkatan sumberdaya manusianya. Komitmen pemerintah tentang kualitas SDM merupakan sikap menghargai sekaligus memperjuangkan upaya perbaikan kesejahteraan. Dan perbaikan mutu SDM adalah pilar penting.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah menunjukkan komitmennya untuk tidak mentolerir lebih jauh praktik perusahaan yang kian cenderung menerapkan model outsourcing. Di samping urgensi peningkatan nilai kesejahteraan para tenaga kerjanya, persoalan keadilan adalah hak setiap individu. Akhirnya, model outsourcing yang membuahkan ketidakadilan harus segera diakhiri. Inilah misi kemanusiaan yang harus diwujudkan.


Sumber :
Tamsil Linrung, Anggota Komisi IX DPR RI dari FPKS

0 Comments:

Post a Comment

<< Home